Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menggelar audiensi dengan International Intellectual Property Alliance (IIPA) di Kantor DJKI, Jakarta pada 18 September 2025. Pertemuan yang dijembatani oleh U.S Embassy ini menjadi wadah dialog strategis membahas pelindungan dan penegakan hukum kekayaan intelektual (KI) di Indonesia, sekaligus menjawab perhatian industri kreatif global terhadap isu pembajakan dan pemalsuan.
Dalam pemaparannya, Direktur Penegakan Hukum DJKI Arie Ardian Rishadi, menegaskan komitmen Indonesia memperkuat sistem pelindungan KI, baik melalui jalur penegakan hukum maupun upaya pencegahan. “Dalam lima tahun terakhir, DJKI bersama instansi terkait telah memblokir lebih dari 2.356 situs yang melanggar KI, dengan 640 situs diblokir hanya pada tahun 2025 hingga pertengahan September. Selain itu, tingkat penyelesaian perkara tahun ini bahkan mencapai 180% dari jumlah pengaduan yang masuk, menunjukkan efektivitas langkah penegakan hukum yang kami lakukan,” ujar Arie.
Selain itu, DJKI juga mencatat 128 sengketa KI berhasil diselesaikan melalui mediasi sejak 2019, dan gencar melakukan kegiatan pencegahan di berbagai daerah. Pada 2025 saja, kegiatan sosialisasi dan edukasi pencegahan pelanggaran KI telah menjangkau 71 titik UMKM dan pusat perdagangan di 7 wilayah.
DJKI juga memperkuat sinergi lintas lembaga. Bersama Bea Cukai dan Bareskrim Polri, DJKI telah melakukan berbagai penindakan, termasuk penyitaan jutaan barang tiruan mulai dari kosmetik, rokok, hingga suku cadang. Bahkan kerja sama internasional juga ditingkatkan, salah satunya dengan penindakan pelanggaran hak cipta film asal Korea Selatan (MBC) yang melibatkan Interpol Korea dan Kepolisian Busan
Sementara itu, perwakilan IIPA, Pete Mehraveri menyampaikan apresiasi terhadap langkah-langkah yang telah ditempuh Indonesia. “Kami senang melihat semakin banyak kreator Indonesia yang aktif berkontribusi pada perekonomian nasional. Namun, tantangan seperti pembajakan digital, terutama untuk siaran langsung pertandingan olahraga, membutuhkan mekanisme penanganan yang lebih cepat. Hal ini penting agar laporan yang masuk tidak kehilangan momentum ketika acara sudah selesai,” ujar Pete.
Pete juga menekankan pentingnya keberlanjutan proses hukum pidana untuk memberi efek jera. “Kami memahami banyak kasus KI diselesaikan secara perdata atau restorative justice, namun kami juga berharap adanya lebih banyak penuntutan pidana yang tegas agar menjadi contoh bahwa pembajakan dan pemalsuan tidak bisa ditoleransi,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Arie Ardian menjelaskan bahwa Indonesia memiliki layanan takedown real-time untuk pelanggaran live streaming bekerja sama dengan pemilik hak, termasuk siaran olahraga dan hiburan. “Bahkan di luar jam kerja, tim kami standby bersama Komdigi standby bersama pemilik hak siar untuk mencari akun ilegal yang melakukan pelanggaran hak siar. Dan saat itu juga, kami lakukan takedown secara real-time.” ungkap Arie.
“Mengenai kasus murni pelanggaran KI, tetap perlu laporan dari pemilik hak. Jadi kadang, jika kami menemukan barang palsu, kami tidak bisa hanya menggunakan Undang-Undang KI, tapi bisa menambahkan dasar hukum lain, misalnya Undang-Undang Kesehatan, agar bisa langsung ditindak,” pungkas Arie.
Audiensi ini juga membahas usulan pembentukan IP Task Force melalui Keputusan Presiden, yang akan memperkuat profesionalisme, publikasi, dan kerja sama lintas sektor dalam penegakan KI. IIPA sendiri berkomitmen melanjutkan komunikasi erat dengan Indonesia dalam empat bulan ke depan.
“Dialog hari ini adalah langkah awal. Kami ingin memastikan bahwa perbaikan yang dilakukan Indonesia dapat tercermin secara akurat dalam laporan kami kepada Pemerintah AS,” tutup Pete Mehraveri.